Sabtu, 25 Oktober 2014

Menuju Ujung Utara Bekasi

  
Senja di sore itu.

"satu aksi lebih baik dari seribu rencana" Bang Arif, Relawan #SaveMugo


Pagi itu, suasana Stadion Mini Cikarang begitu ramai dari anak kecil sampai lansia sekalipun hanya karena untuk berolahraga. Saya pun sudah disana, tetapi bukan untuk berolahraga seperti yang lainnya, melainkan untuk berkumpul bersama para pengurus Esacapala, dan para alumni. Mau kemana kita sebenarnya? Ya, kita mau ke Hutan Mangrove dan melihat Lutung Jawa berada, tempatnya di Muara Bendera. Muara Gembong, Bekasi.
Begitu bangganya sebagai orang Bekasi karena masih bisa melihat Lutung Jawa dan Hutan Mangrove. Lutung Jawa di Bekasi termasuk salah satu satwa endemik yang dilindungi karena jumlahnya yang kurang dari seratus dan TERANCAM PUNAH.
Sampai di Stadion, saya kira sudah banyak yang kumpul disana tapi ternyata belum ada sama sekali yang kumpul. Jadi saya harus menunggu yang lainnya. Menunggu lama, dan akhirnya Teh Mega pun datang, disusul dengan yang lainnya. Ketika semuanya sudah kumpul dan sudah siap, kami pun berangkat menuju Muara Gembong.
Sebelum berangkat, seperti biasanya dan sudah kewajiban kami berdo’a terlebih dahulu agar selamat sampai tujuan dan diberikan kelancaran. Setelah selesai, baru kami pun berangkat. Seperti perjalanan yang sebelumnya, saya naik motor sama Bang Iwang. Perjalanan yang cukup jauh, walau hanya dibonceng tetapi tetap saja saya merasa capek.
Tiba di Kecamatan Muara Gembong
Beberapa jam kemudian kami pun sampai di Kecamatan Muara Gembong dan kami harus menunggu relawan dari #SaveMugo. Bisa dibilang sih mereka itu nanti yang mandu kita waktu disana. Akhirnya mereka pun datang. Perjalanan belum selesai, kami masih harus melanjutkan perjalanan lagi sekitar setengah sampai satu jam. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami mengisi perut terlebih dahulu yang kosong.
Berfoto ria di Hilir sungai Citarum
Melintasi hilir sungai Citarum
Berasa ada di Borneo :D
Setelah semua selesai, kami pun melanjutkan perjalanan. Selama di perjalanan, pemandangannya begitu indah karena melihat sungai Citarum yang begitu tenang airnya. Dan kamipun harus menyebrangi sungai dengan menggunakan perahu tarik. Baru pertama kali saya naik perahu tarik tersebut dan itu karena Esacapala, senang rasanya walaupun agak sedikit takut perahunya terbalik hehe.
Akhirnya kamipun sampai di rumah Pak RT setempat dan menitip motor disana dikarenakan jalan yang tidak bisa dilintasi oleh motor. Kamipun berjalan, dan finally kamipun sampai di tempat tujuan. Ternyata, sampai disana Lutungnya sedang tidak menampakkan diri, jadi harus membuat kami menunggu.
Papan pengumuman yang menyatakan perburuan Lutung DILARANG dalam kawasan ini
Lutung Jawa adalah Satwa Endemik yang dilindungi
Beberapa lama kemudian akhirnya ada beberapa Lutung yang menampakkan diri. Setelah puas melihat Lutung, kami menuju dermaga dan melewati jembatan bambu yang baru saja dibuat oleh warga sekitar dan para relawan. Pemandangan yang begitu indah dan sangat menyejukkan hati

Jembatan bambu menuju Dermaga
Susunan bambu yang di buat untuk jalan menuju dermaga
             Setelah itu kami melakukan operasi bersih di sekitar pesisir pantai. Banyak sampah yang terbawa oleh air pasang waktu itu, sampah tersebut terdiri dari stereofoam, sampah sandal, sampah kaca, dan lain-lain. Setelah semua selesai trash bag sampah yang sudah penuh dengan sampah di kumpulkan dan diikat di salah satu pohon dan akan dibawa nanti. Tidak menunggu lama kamipun kembali ke rumah Pak RT mengingat waktu yang sudah makin sore. Sesampainya disana, kami langsung makan bersama karena sebelum menuju tempat kami membeli makanan bungkus untuk makan disana.

Sampah yang berserakan terbawa saat air laut pasang
Pengumpulan sampah dengan trash bag
Mari membiasakan buang sampah pada tempatnya :)
            Setelah makan, kami pun bergegas untuk pulang dan sebelum pulang kami berdo’a terlebih dahulu. Dan kami ikut bersama relawan dari #SaveMugo. Kami pulang bersama melewati jalan yang tidak terlalu bagus, sangat gelap. Saya sempat takut karena suasana yang menakutkan menurut saya. Kami melewati jembatan yang lumayan besar dan untuk yang kesekian kalinya saya baru pertama kali lewat situ.
          Perjalanan masih cukup jauh, dan kami melewati jembatan kedua. Disitu, kami beristirahat terlebih dahulu. Dijembatan, malam-malam, melihat ada nelayan yang pergi mencari ikan malam-malam merupakan sensasi yang baru bagi saya. Kami bercengkrama satu sama lain, dan saya sudah mulai lelah.
            Setelah puas beristirahat kami melanjutkan perjalanan mengingat waktu sudah malam. Selama dijalan saya tidur dan ketika Bang Iwang ngerem mendadak kepala saya terbentur helm, sakit sih memang, tapi rasa sakitnya melebihi rasa ngantuk saya dan saya kembali tidur lagi. Memang sangat berbahaya tidur di kendaraan roda dua, sangat rawan untuk kecelakaan apalagi sudah malam, tapi apa boleh dikata saya sangat ngantuk dan lelah, jadinya saya tidur deh. Jangan diikutin ya hehe
            Dan akhirnya kami sampai di WB, tempat nongkrong gitu deh. Tetapi saya langsung diantar pulang oleh Rizki karena waktu yang sudah malam.
           
 Pengalaman yang sangat berarti bagi saya, dan sayapun bangga dengan Bekasi.


Pesan dari pesisir
Foto bareng sebelum pulang :D
Relawan T.O.P B.G.T pantang pulang sebelum bersih :D

THE END.

ditulis oleh : Saskia "KIBO" Amalia ( ESCA AM. R.XIV )

Di Dedikasikan untuk Seluruh Volunteer yang tergabung dalam #SaveMugo.

Di Gunung kita mengenal Edellweis, tapi jangan lupa jika di Pesisir ada Mangrove sebagai penunjang Ekosistem dan Benteng penahan Abrasi. Mangrove mungkin tak seindah Edellweis, tapi Mangrove adalah Pahlawan di Pesisir sebagai penahan abrasi arus laut dan tempat Burung serta Biota laut hidup dan tinggal.

 

Saskia "KIBO" Amalia


Jumat, 14 Februari 2014

Kami di ketinggian 2.818 Mdpl “Gn. Cikuray”

Kami di ketinggian 2.818 Mdpl “Gn. Cikuray”

Apa yang ada di cerita ini hanya cerita. Tapi keindahan, kebahagiaan, dan lain lainnya hanya ada di ingatan kami (Ayu Wijayanti dan Mar'atushshalihah)~

Jum'at, 29 November 2013 
Langkah membawa kami pergi meninggalkan gerbang megah milik SMAN 1 Cikarang Utara menuju rumah salah satu senior kami, bang Iwang untuk packing dan sebagainya. Sore menuju malam kami berangkat menuju Terminal Cikarang yang tidak jauh dari rumah bang Iwank.

Adzan maghrib pun terdengar, kami masih di Terminal Cikarang untuk menunggu bang Ello. Kali ini adzan Isya sudah terdengar juga. Tidak lama kemudian bang Ello tiba dan kami langsung menaiki mobil angkutan yang menuju terminal Kp. Rambutan, Jakarta.

Tiba di terminal Kp. Rambutan, disana sudah menunggu abang dan teteh kami yang lainnya. Setelah itu kami mencari mobil angkutan menuju Garut dengan tarif yang semurah mungkin tetapi nyaman. Akhirnya kami mendapatkan bus ber-AC dengan tarif yang sesuai. Dalam perjalanan menuju Garut kami hanya tertidur untuk menghemat energi untuk pendakian esok harinya.

Sabtu, 30 November 2013
Entah pukul berapa kami tiba di terminal Garut. Disana juga sudah menunggu abang kami yang lainnya. Adzan Subuh terdengar, kami shalat dan bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Untuk menaiki mobil yang menuju Gunung Cikuray, kami disuruh berjalan terlebih dahulu.

Shalat shubuh di masjid Terminal Guntur-Garut

Perjalanan menuju pos pemancar

Setelah menunggu, mobil datang. Karena jumlah kami yang lumayan banyak yaitu 19 orang dan 4 orang dari daerah lain, kami dijemput dengan mobil truk kecil. Pagi yang dingin dengan mobil yang berjalan membuat beberapa orang dari kami kedingingan karena tidak memakai jaket.

Tiba di pos pendaftaran Gunung Cikuray (Pemancar). Inilah perjalanan kami yang sesungguhnya yang  akan benar-benar jalan menggunakan kedua kaki kami. Pada awalnya kami berpikir pasti salah satu adik kelas kami akan ada yang lelah ditengah tengah perjalanan, jadi saat itu terjadi kami akan ganti gantian untuk membawa carrier mereka, oke itu kesepakatan kami.

Pos pemancar Gunung Cikuray

Dimulai dengan membaca doa terlebih dahulu, kami memulai pendakian ini. Kami yang awalnya tidak membawa apa-apa (dengan rasa bahagia kami pada awalnya) harus membawa carrier masing masing (carrier milik adik kelas kami yang entah memiliki fisik yang kurang kuat atau  tidak menganggap pendakian kali ini serius, dan menyepelekan latihan fisik hoaaa) maaf keluar dari topic, ya seperti yang tadi kami ceritakan, kami membawa carrier masing masing tidak jauh dari awal perjalanan kami yaitu di kebun teh.

Melewati kebun teh

Perjalanan kami lebih terasa melelahkan jika membawa carrier,  kami sampai di pos 1 kami memutuskan untuk makan di pos ini, kami mengeluarkan peralatan masak kami di pos ini. Ada yang memasak, ada yang hanya duduk dan menunggu masakan matang ada pula yang bermain poker. Kami cukup lama di pos ini sekitar 1,5 jam, setelah semua selesai, makan selesai, permainan poker berakhir. Kami mulai packing lagi dan melanjutkan perjalanan.


Istirahat di pos 1

Semangkaa!! ^_^9

Perjalanan dari pos satu ke pos dua tidak begitu jauh dan kami masih bisa menikmati paronama sepanjang jalur menuju pos dua. Tapi semua berubah ketika kami melewati pos dua dan langsung menuju pos tiga, selain jaraknya yang lumayan jauh ditambah medan yang kami tempuh cukup extreme, kami mulai lelah.

Beberapa adik kelas kami yang ikut pendakian masing masing dibackup oleh senior senior kami dan kami juga, cukup miris memang. Saat itu yang terpikirkan oleh kami hanyalah jalan dan terus melangkah, sampai saat dimana kami sering kelelahan dan membuat senior senior kami terpaksa harus seringkali berhenti.

 
Jalur menanjak

Yuk keep smile :)

Kaki, tangan, punggung dan pikiran saling menyemangati satu sama lain hingga sampailah kami di pos lima. Duduk di batang kayu yang sudah tumbang sambil meluruskan kaki terasa lebih nyaman dibandingkan duduk di sofa lobby sekolah yang empuk *hehe.

Sambil menunggu adik adik kami dan senior senior  yang membackup mereka, beberapa senior yang lainnya memutuskan untuk melihat jalur yang akan kami lewati menuju puncak bayangan dan puncak sesungguhnya terlebih dahulu. Duduk sekitar tujuh belas menit dan kami nyaris semua telah berkumpul di pos ini, kecuali salah satu adik kami Wanaldi yang sering dipanggil PUSO dan tiga senior kami yang membackupnya.

Senior kami yang tadi pergi melihat jalurnya sudah kembali lagi dan kamipun melanjutkan peralanan kami. Kali ini kami semangat lagi karena kami hanya perlu melewati satu pos lagi dan sampai di puncak sesungguhnya dan mendirikan tenda. Pemandangan yang tadinya tak terhiraukan oleh kami bisa kami nikmati lagi, bahagia akan ciptaan Tuhan menghilangkan rasa lelah kami saat itu.

Mari kita masak

kapan lagi masak bareng


Mari kita makan 


Sampai di pos enam atau puncak bayangan, kami melihat puncak yang tidak jauh dari tempat kami saat ini masih sangat terik, jadi kami memutuskan untuk bersantai dan masak lagi. Makan selesai, puncak pun sudah terlihat sejuk, namun keadaan memaksa kami untuk tidak mendirikan tenda di puncak karena angin dan kabutnya yang mungkin bisa membahayakan.


Jadinya kami mendirikan tenda di tempat kami beristirahat tadi. Selain permukaannya yang rata dan cukup menampung tenda tenda kami, puncak bayangan ini tidak jauh dari puncak yang sesungguhnya.
Tendapun berdiri ditangan adik adik kami tentunya dengan bantuan kami dan diperkokoh oleh senior senior kami.

Sunset hari itu sudah kami niatkan untuk melihat keindahannya di puncak Gunung Cikuray dan sayangnya niat itu tak tercapai akibat kabut yang menyelimuti puncak Gunung Cikuray, tapi tak apa, dinginnya puncak Gunung Cikuray dan kabut yang menyebar di segala arah tetap membuat hati kami bahagia.

Tenda di puncak bayangan

Ayo dipilih dipilih..

Kami turun ke puncak bayangan dimana tenda kami berdiri, udara di puncak bayangan mendadak lembab, kami dan senior senior kami membuat penghalang untuk jaga jaga jika hujan datang. Setelah selesai kami menengadahkan kepala kami ke atas untuk melihat keindahan alam lainnya.

Makan malam

Salam dua jari ^_^v

Hamparan bintang membuat kami senang karena malam ini cerah dan hujan mungkin tak datang, namun seringkali udara di puncak bayangan berubah menjadi hujan kabut dan kembali terang lagi dan berkabut lagi.
Adik adik kami sudah terlelap, tinggal kami dan senior senior kami yang sedang bercengkrama bercerita tentang kejadian kejadian lampau sambil memasak beberapa bahan makanan, juga memakan beberapa makanan makanan ringan sambil meminum teh ataupun energen.

Sampai saat mata kami mulai berat dan tak sengaja tertidur. Pada akhirnya senior senior kamipun sudah mulai mengantuk dan kami bangun untuk tidur di tenda kami.
Satu tenda ukuran tiga orang di tempati tidur oleh tujuh orang waw sekali saat itu. Walau pegal, dinginnya udara diluar tidak terasa sama sekali di tenda kami. 

Dengarkah kalian?? Teriakan dari puncak ini
Suara yang menggema dari dasar hati
Menumpahkan segala pahit yang berlalu
Berlalu seperti angin
Memeluk kita dalam dekapan kabut tipis

Dan malam itu,
Bintang menghiasi malam kita di dalam sunyi
Sunyi yang terpecahkan dengan suara tawa kita
Saat lelap tak lagi berani datang menggangu kebersamaan ini


Ingkatkah??
Saat kita mencoba mencari cahaya
Yang perlahan keluar dari balik awan
Dan membuat senyuman indah di wajah ini

Bahagia itu simple, berkumpul bersama dalam satu waktu
Sudah lebih dari cukup.
Dan sekali lagi harus saya katakan, “mendakilah bersamaku, agar kau tahu sifatku dan caraku menjagamu”


_Top Cikuray 1 December 2013



ESCA R.VI.028.2006


Minggu, 01 Desember 2013
Hangat, begitu kami membuka tenda kehangatan di tenda kami menghilang dibawa angin berkabut. Kami siap siap untuk melihat sunrise di puncak Cikuray yang sebenarnya.
Sunrise terlihat indah dari puncak Gunung Cikuray, kami mengambil foto bersama bendera kebanggaan kami Panji ESACAPALA dan foto foto lainnya, lalu turun ke tempat tenda kami berdiri, makan dan mulai meninggalkan puncak Gunung Cikuray yang berada di 2818 Mdpl itu lalu pulang menuju Cikarang.

Garis Horison dari timur

Matahari 1 Desember

Calon Hokage selanjutnya

Negeri di atas awan

Piss :)

R. XIV

Smile :)

hehehe

pose dengan Panji ESACAPALA

Kami, lebih hangat dari sinar Mentari

THE END.

ditulis oleh : Ayu Wijayanti (ESCA R.XII.110.2011) & Mar'atushshalihah S. Hadi (ESCA R.XII.117.2011)

Di dedikasikan untuk seluruh anggota ESACAPALA dimanapun kalian berada...
 
 "Hanya sisa-sisa dari mereka yang masih bertahan dan dapat terus membimbing kami"

Ayu Wijayanti & Mar'atushshalihah




Minggu, 29 September 2013

Mencari Cahaya Terang di Dalam Perut Bumi


"Mereka yang bahagia bukan mereka yang memiliki segalanya, tapi mereka yang merasa seperti keluarga dalam segalanya"

~ESCA RVI.028.2006

Itulah yang selalu ada dalam pemikiran saya, bahwa kebahagiaan ataupun kesenangan bukanlah sesuatu yang dapat diukur dengan materi. Karena pada dasarnya merekalah yang merasa seperti keluarga akan selalu merasa utuh.

Inilah cerita yang selalu dinanti - nanti, saat kami mencoba menuruni perut bumi dan terjebak dalam ruang gelap tak berpenghuni. Sabtu 21 September 2013 menjadi awal petualangan kami ber-Enam menjelajahi goa atau yang biasa disebut Caving.

Goa yang menjadi destinasi kami berada di sekitar daerah Loji Karawang, Waktu yang ditempuh lumayan melelahkan dengan ditemani medan jalan yang lumayan sulit juga untuk dilalui (tergantung kendaraan juga sih :p). Sebut saja Goa Lalai, tempat yang akan kami jelajahi dan eksplorasi apa saja yang ada di dalamnya, ini yang membawa kami dari rasa penasaran kami untuk selalu belajar dan terus belajar tentang kekayaan alam Indonesia.

Persiapan sebelum berangkat

Saya, Dimas, Iwank, Rafi, Levana dan Noni adalah team yang kali ini sempat untuk mencoba belajar memahami keAgungan Allah Subhanahu wata'ala. Sepakat dengan mengendarai 3 buah roda dua, kami berangkat dari Wall Climbing EsaCapala menuju lokasi Goa dengan diiringi doa dari bu ketua Ayu Wijayanti, Mar'ah dan para sahabat :p(hahahaaahaa)

Untuk menuju lokasi, kami ditemani oleh seorang warga lokal yang kami sebut Pak Mi'un. Kaget memang ketika beliau menyebutkan bahwa terdapat sekitar 40 Goa yang berada di daerah ini (woooww), dengan berjalan kaki kami meneruskan perjalanan menuju Goa setelah motor kami titipkan di rumah Pak Mi'un.

Terik sangat matahari yang memancar mengenai tubuh kami, tapi tak membuat kami menyerah untuk melewati semak belukar dan hutan bambu yang cukup menghambat jalan kami. Saya sempat berpikir, kalau saja tempat ini ter-ekspose pasti sudah banyak event organizer dan guide yang menawarkan jasa Caving, karena hari gini mau berpetualang aja harus ada guidenya -___-

Lumut hijau yang sangat tebal menyelimuti dinding Goa

Wooww, kata pertama yang keluar dari mulut saya melihat lubang besar vertical dengan kedalaman sekitar 25 meter yang gelap dan dipenuhi lumut tebal. Saya tak yakin dengan luas di dalamnya dan membuat kami sangat penasaran untuk turun langsung ke dalam Goa. Tak sia - sia kami membawa peralatan Climbing yang sudah di packing dalam satu tas peralatan, Saya langsung membuat anchor untuk menjadi penambat yang menahan beban tubuh kami saat turun ke bawah.

Goa lalai tampak dari mulut Goa

Iwank dan kondisi Goa yang vertical

Dan Noni adalah seorang gadis pemberani yang perdana menuruni tebing Goa sedalam 25 meter, sedikit ragu tapi berjalan mulus dengan tekhnik rappeling, kini Levana yang harus menjajal turun dari tebing Goa menuju perut bumi yang gelap dan masih menjadi tanda tanya.

Noni menuruni mulut Goa dengan tekhnik rappeling

Levana In Action

Tiba giliran saya meluncur menuruni tebing yang lumayan terjal menemani Noni dan Levana yang sudah berada dibawah, setibanya di bawah saya di sambut oleh banyaknya hewan Nocturnal yang menghuni dinding - dinding Goa, seperti berada dalam aula besar yang gelap dan di penuhi kelelawar yang beterbangan.


Chiroptera atau yang lebih familiar kita sebut kelelawar, kampret, kalong dan teman - temannya menghiasi dinding Goa yang sangat gelap, sayang kami tak tahu dengan jelas jenis kelelawar yang berada di Goa lalai, tapi sepertinya adalah jenis microchiroptera yang terdiri dari 4 famili (mollosidae, hipposideridae, rhinolophidae dan vespertilionidae kalo gak salah :p)
Piss ah :)


Rafi In Rappeling

Rafi dan Dimas pun turun menuruni Goa yang membuat rasa penasaran, ukuran Goa lalai kira - kira sekitar 350 meter, lebar rata - rata 45 meter dengan mulut goa yang vertical. Iwank terpaksa harus menunggu dengan tenang bersama Pak Mi'un di atas mulut Goa :p (hahahaaahaaa) untuk standby dan berjaga - jaga, karena untuk naik nanti kami harus menggunakan cara Single Rope Tehnique yang sangat menguras tenaga.

Mencoba Memanjat dinding Goa


Saya mencoba memanjat dinding - dinding vertical Goa lalai dan bergaya macam chris sharma in action, lumayan mudah memang karena saya berhasil memanjat hampir setengah dari sisa dinding, tapi lumayan bergetar karena memanjat dengan cara free climbing tanpa menggunakan alat bantu sedikitpun dengan kondisi tebing yang berlumut tebal dan sangat licin.

Tersesak dalam ruang gelap,
Terperanjat mencari jalan keluar dari dimensi minim cahaya
Tetesan air yang semakin deras jatuh tepat di dahi kita,
Menetes di bumi kita.

Kapan kita jera akan semua ulah kita ini??
Menjelajahi hutan,
Menjejakan kaki di puncak tertinggi,
Menelusur ujung pesisir,
Hingga masuk ke perut bumi.

Sepertinya bukan hanya karena sebuah jawaban,
Atau rasa penasaran??
Tapi rasa kebersamaan, melewati hal yang tidak biasa untuk dilewati
Terbiasa bersusah untuk mengerti bahwa jawaban ini memang sangat berarti.

Jangan berhenti sampai disini!!
Karena kalian yang akan melanjutkan cerita selanjutnya dari perjalanan ini.
Mereka yang bahagia bukan mereka yang memiliki segalanya, tapi mereka yang merasa seperti keluarga dalam segalanya.

~Goa Lalai_21.09.2013


Keadaan di dalam Goa yang sangat asing memaksa kami untuk jauh lebih tahu mengenai Goa ini berikut dengan pemetaannya, sayang gerimis luruh mengharuskan kami untuk segera naik ke permukaan mulut Goa yang kami turuni. Inilah hal tersulitnya, kami harus bergantung pada satu tali dengan menggunakan cara Single Rope Tehnique yang sangat menguras tenaga.

Untung ada Iwank dan Pak Mi'un yang sedari awal memang sudah berada di permukaan mulut Goa, dan gerimis pun perlahan mulai deras jatuh di dahi kita, membuat kita selalu menengadah keatas dan terus berdoa agar kami semua dapat naik ke permukaan. Pelan tapi tapi pasti satu persatu dari kami berhasil naik dengan keringat yang mengucur menyamarkan tetesan gerimis.

pose dulu :)

Pak Mi'un, Iwank dan Dimas


Levana mencoba single rope tehnique


Saatnya kembali untuk kami, setelah semua peralatan di packing dengan rapi kami pun berjalan untuk menuju kediaman Pak Mi'un untuk beristirahat sejenak dan kembali ke tempat kami seharusnya. Tepat adzan Maghrib kami tiba di kediaman Pak Mi'un, suasana yang gelap membuat kami maklum bahwa daerah ini memang belum di aliri listrik. Keramah tamahan keluarga Pak Mi'un membuat kami tak ingin beranjak dari sini dan melanjutkan lagi petualangan kami esok hari. Tapi Levana dan Noni harus segera pulang, kembali ke rumah dan Orang tua mereka.

Noni dan kondisi Goa yang gelap


Piss lagi :)


Iwank Sang Kenek Pasir Penyelamat :p


Akan saya tunggu, perjalanan selanjutnya!! Karena kita masih akan kembali kesini, memasuki dalamnya perut bumi yang gelap dan pengap yang jauh dari kata nyaman.

KARENA BAGI KAMI NYAMAN ITU ADALAH BERSAMA SAAT BERSUSAH DIWAKTU YANG TIDAK BIASA.

Terima Kasih :

Allah Subhanahu Wata'Ala
~ Esacapala
~ Pak Mi'un sekeluarga ( terima kasih banyak)
~ Dimas, Rafi, Iwank, Levana dan Noni (love you so much guys)